Berutang pada Diri Sendiri

Oleh: Dr. Duddy Roesmara D, M.Sc.

Utang adalah sebuah fenomena yang sangat legendaris dewasa ini. Bahkan saking hebatnya, sampai-sampai derajat orang yang berutang lebih tinggi dan dimuliakan dari pada orang yang berpiutang (memberikan hutang kepada seseorang). Sebagai contoh, dapat dibandingkan fasilitas, kemudahan, dan penghargaan yang diberikan antara pemegang kartu debit dan kartu kredit pada sebuah bank. Bandingkan juga layanan yang diberikan kepada konsumen kartu pra bayar dan pasca bayar pada sebuah operator seluler. Utang merupakan jerat sekaligus candu yang sudah mendarah daging dan mengurat syaraf dalam peradaban umat manusia.

Bagaimana kita bisa terhindar dari ancaman lilitan utang yang tiada bertepi? Ini bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan kejelasan konsep dan dan kekuatan niat untuk dapat mewujudkannya. Setidaknya ada dua pilar utama mengapa penyewa uang (baca rentenir, baik yang formal maupun non formal, bahkan yang telah terlabeli dengan nuansa syariah Islam) bisa menjadikan produk utamanya (menyewakan uang) sebagai candu (yang tak kalah hebatnya dengan rokok dan narkotika).

Yang pertama adalah perilaku konsumtif. Yang menjadi kata kunci adalah bahwasanya manusia tidak dapat membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Di sinilah celah renternir untuk membujuk rayu dengan aneka macam fasilitas dan kemudahan sehingga seseorang cenderung akan berusahan memenuhi setiap keinginannya dengan jalan berutang (baca menyewa uang kepada rentenir/individu atau lembaga formal penyewa uang).

Yang kedua adalah perilaku pengusaha yang tidak accountable/bankable (meskipun credible/feasible). Pada umumnya, ushaha mikro dan kecil belum mempunyai cukup waktu untuk membuktikan ketangguhan bisnisnya tatkala menghadapi terpaan kondisi yang tidak diinginkan. Mayoritas pengusaha kecil tidak mau mencatatat usahanya. Ketiadaan pencatatan tersebut menyebabkan ketidakjelasan berapa rupiah yang harus dibagihasilkan mengingat perjanjian bagi hasil hanya menyebutkan proporsi bagian dari keuntungan bukan sejumlah rupiah atau persentase tertentu dari sejumlah uang (seperti bunga). Ketidakjelasan inilah yang kemudian menjadikan syak wasangka diantara pihak-pihak yang berserikat usaha. Kondisi seperti inilah yang menjadikan sistem sewa-menyewa uang menjadi unggul karena ketiadaan syak wasangka diantara dua belah pihak. Masing-masing pihak sudah menyepakati besaran sewa uang dengan kerelaan masing-masing (penting dicatatat bahwa kesalingrelaan kedua belah pihak bukan dalam hal jual beli tetapi sewa menyewa uang).

Lantas, bagaimanakah cara untuk menghindar atau setidaknya mengurangi jerat rentenir? Cara di bawah ini merupakan salah satu cara alternatif yang tidak terlalu menuntut konsep yang rumit tetapi lebih pada kekuatan niat. Memang tidak semua orang  dapat melakukan ini karena sudah menjadi kenyataan bahwa manusia dilahirkan dengan variasi kelebihan dan kekurang, termasuk dalam hal harta. Cara tersebut adalah dengan berutang pada diri sendiri. Intinya adalah mencadangkan sejumlah uang untuk keperluan tidak terduga dan berlaku disiplin atas dana tersebut. Kedisiplinan yang dimaksud adalah menjaga agar dana tersebut tetap ada dalam jangka panjang.

Untuk menjelaskan hal tersebut dapat diberikan sebuah ilustrasi cerita fiksi. Daryatun adalah seorang pemuda yang akan melangsungkan pernikahan. Dia mempunyai harta berupa uang tunai sebesar  100 juta. Sebagian uang tersebut direncanakan untuk membiayai pernikahan dan untuk memulai hidup berumah tangga sebagai keluarga baru. Sebagai seorang yang berpikiran ke depan, Daryatun harus mengalokasikan uangnya secara cermat karena kebutuhannya dibatasi oleh terbatasnya harta yang dipunyai. Menghabiskan seluruh uang untuk perayaan pesta pernikahan tentu bukanlah sebuah pilihan yang cerdas dan bijaksana. Permasalahan pernikahan bukanlah hanya pada waktu melangsungkan pernikahan, tetapi yang lebih pentingnya adalah menyiapkan hari-hari setelah prosesi perniahan itu sendiri. Daryatun dapat mengalokasikan sebagian uang yang dimilikinya untuk dana talangan pribadi. Misalkan, uang 100 juta digunakan sebesar 40 juta untuk pernikahan, 30 juta untuk memuai kehidupan berumah tangga (membeli peralatan dan sewa rumah), dan 30 juta untuk dana talangan pribadi.

Selanjutnya, dana 30 juta tersebut digunakan sebagai dana talangan untuk berbagai keperluan mendadak, baik untuk kepentingan konsumtif maupun kepentingan produktif dan harus dikembalikan hingga mencapai jumlah semula (30 juta) dengan cara mengangsur. Inilah yang disebut berutang kepada diri sendiri. Sebagai contoh, suatu ketika Daryatun membutuhkan (bukan menginginkan) uang untuk membeli sepeda motor seharga 18 juta. Maka Daryatun meminjam dana talangan tersebut kemudian mengangsur dengan jumlah 1 juta per bulan selama 18 bulan. Jika ada kelonggaran rejeki, secara berkala dana talangan ini perlu ditambah seiring dengan laju inflasi, meningkatnya pendapatan dan gaya hidup yang berakibat pada meningkatnya meningkatnya dana talangan. Inilah solusi utama untuk memenuhi kebutuhan mendadak dan mendesak. Berutang kepada diri sendiri tentu bebas dari dosa riba dan jatuhnya harga diri akibat mengemis-ngemis untuk pinjam/sewa uang kepada pihak lain. Akan tetapi, semuanya kembali kepada kekuatan niat dan kedisiplinan dalam mewujudkannya. Ingat, utang adalah untuk sebuah kondisi darurat saja, bukan keseimbangan jangka panjang yang direncanakan. Selamat mencoba!

#utang, #dirisendiri #roellycraft, #kerajinanflanel, #handmade

One thought on “Berutang pada Diri Sendiri

Leave a comment